Rabu, 03 Februari 2016

Cerpen : La Lunar




La Lunar
Karya : Zhee

“Seseorang yang terbiasa instan, akan sulit memahami sebuah proses”
***
Shalomya Ayudha Purni. Berbakat dengan polesan kanvasnya dan sekarang belum sampai 17 tahun usianya. Berbeda dengan remaja-remaja zaman sekarang, di telinga Shalom hanya terngiang kata “proses”. Ketika remaja seusianya mulai menumpulkan dan memanjakan otaknya, ia justru memacu lebih keras seluruh tenaga dan fikirannya hanya untuk menjadikan kata “La Lunar” sesuai dengan tujuannya. Tak seperti remaja pada umumnya, di waktu senggang ia gunakan untuk menjelajahi khayal imajinasi “La Lunar” yang selama 6 bulan tersebut tetap dalam komposisinya. Tak bertambah, dan tak berkurang.
“Hei Shalom! Mau sampai kapan kau pandangi kanvas biru tua itu? Haha. Sudahlah, ada banyak benda di sekitarmu yang bisa kau jadikan objek mengecatmu itu!” Teriak Elva, salah seorang teman Shalom. 
Teriakan Elva seketika mengagetkan Shalom yang tengah tenggelam dalam imajinasi “La Lunar” nya. Tetapi Shalom hanya tersenyum kecil menanggapinya dan kembali memandangi kanvas.
“Hei, Shalom. Sudah berapa kali ku bilang, sudahlah jangan terlalu kau fikirkan lukisan mu itu. Percuma! Kau sudah banyak membuang kanvas untuk projek mu ini. Sampai-sampai kau tak makan hanya gara-gara lukisan yang tak akan pernah selesai ini.” Ejek Elva.
“Elva.. Elva.. Lukisan ini akan selesai tepat pada waktunya. Tenang saja..” Sahut Shalom santai sembari menghampiri Elva dan duduk disampingnya.
“Kapan? Waktu pergelaran lukisan itu tinggal satu minggu lagi! Dan kau? Tetap saja dengan kanvas-kanvas biru tua kau itu. Apa yang sebenarnya terjadi pada diri kau, Shalom?”
“Tenang Elva, tenang.. Tunggu waktunya.”
“Tenang? Aku sebagai sahabatmu tidak akan tenang melihat ini Shalom! Sudahlah, aku akan browsingkan untuk kau lukisan karya Leonardo Da Vinci!” Tawar Elva yang seketika ditolak mentah-mentah oleh Shalom, “Apa? Tidak! Tidak Elva! Aku tidak mau meniru karya orang lain, itu terlalu instan! Lalu bagaimana grade pelukisku akan naik kalau aku sendiri ini seorang penjiplak?”
“Hei, untuk sekali ini saja. Apa salahnya menjiplak karya orang lain sekali-kali? Lagipula untuk apa kau repot-repot berfikir, berkhayal dengan kanvas kau itu? Zaman sekarang sudah ada internet, Shalom! Hanya dengan sekali tombol kau bisa dapatkan apa yang kau mau!” Paksa Elva.
“Tidak Elva, sebuah hasil akan lebih nikmat bila itu didapat dari sebuah proses dengan sebuah kerja keras dan doa! Bukan dengan yang instan seperti itu, aku tidak mau!” Tolak Shalom.
“Shalom, sahabatku yang paling manis. Aku tak tahan melihatmu sepanjang hari hanya memandangi kanvas yang terlukis biru tua itu. Sebaiknya, cepatlah kau kerjakan walau menjiplak! Tak akan ada yang mengerti itu hasil jiplakan atau bukan!” Ujar Elva tanpa gentar dan dengan kukuhnya. Elva berusaha memaksa Shalom untuk menjiplak.
“Sudahlah Elva, kalau kamu kemari hanya untuk berdebat denganku. Silahkan pergi. Jangan ganggu aku sampai waktu pergelaran nanti.” Tolak Shalom sekali lagi dengan wajah malas ia tampakkan pada Elva.
Ekspresi itu membuat Elva menyerah dan dengan wajah muram, ia pergi dari hadapan Shalom. Baru beberapa langkah, Elva berbalik lalu berkata pada Shalom, “Baiklah. Tapi ingat kau Shalom! Aku begini karena peduli dengan kau, karena sejak kau membiarkan kanvas itu tetap biru tua kau semakin menyedihkan.”
Shalom yang mengerti akan maksud Elva menjawabnya dengan tenang “Terimakasih Elva atas perhatianmu. Temui aku ketika pergelaran nanti.”
***
Hari demi hari setelah perdebatannya dengan Elva membuat ilusi khayalnya semakin memburam. Pergelaran itu tinggal hitungan jam kali ini. Dan di pojok kamarnya, kanvas itu masih tertata manis dengan komposisi biru tua nya. Tak berubah atau bahkan berkurang. Shalom yang setiap hari ia habiskan menatap kanvas biru tua itu sembari membuka cakrawala ilusinya pun hanya berakhir dengan anggukan pasrah. Bagaimana tidak? Bumerang pedas dari perhatian Elva tetap membayanginya, menghantam bata semangat berprosesnya yang sedikit demi sedikit retak. Bagaimana caranya lukisan ini selesai tanpa segores pun tinta plagiarisme yang mengelilinginya? Shalom benar-benar kehabisan akal kali ini. Cakrawala imajinasinya seolah terhenti, terhalang oleh dinding perhatian Elva.
Shalom pun keluar dari tempat dimana asap imajinasinya mengepul. Hendak menenangkan diri dari sesuatu yang menimpa nya kali ini. Dia benar-benar tak habis fikir bagaimana ia bisa tak punya setitik ide pun untuk lukisan nya kali ini. Dengan mata berkaca-kaca ia kemudian menyapu pemandangan di sekelilingnya. Seketika pandangan mata yang menahan air agar tak tumpah dari kelopaknya itu pun terhenti pada pemandangan langit.
Sambil menyeka air matanya Shalom berkata, “Indah sekali bulan malam ini, seolah bulan tak ingin aku menumpahkan air mata ku yang penuh kebimbangan.”
Semakin larut cahaya bulan semakin benderang. Shalom memandangi bulan itu. Lama. Hingga secara tak sadar, cakrawala ilusinya terbuka. Ia mendapatkan ide untuk lukisannya kali ini. Secepatnya, ia mengambil kanvas biru tua dan peralatan lukisnya lalu mengatur posisinya. Shalom menyelesaikan “La Lunar” nya sembari bermandikan cahaya bulan yang benderang.
***
Gedung tempat pergelaran lukisan telah ramai oleh banyak orang. Terlihat pula Elva, sendirian mengitari ruangan tempat lukisan dipamerkan. Elva tidak lama berdiri dari satu lukisan ke lukisan yang lainnya. Tetapi tidak untuk lukisan yang satu ini, Elva terpaku lama. Sederhana menurutnya, dengan berlatarkan langit yang berwarna biru tua hanya tergambar rembulan dan seorang gadis yang terlihat separuh wajahnya. Rembulan itu dilukis sedemikian rupa sehingga terlihat seperti bersinar terang, menyinari gadis yang dari gambaran raut wajahnya menyisakan kegalauan yang menjadi. Rembulan yang terang itu seolah mencoba menghibur gadis yang bersendu pilu itu.
Setelah Elva terpaku lama, ia kemudian melirik bagian bawah. Tertulis Shalomya AP. Elva tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Belum ia selesai mengendalikan rasa tidak percayanya, pundaknya ditepuk oleh seseorang yang berada di belakangnya.
“Aku telah membuktikannya bukan, Elva? Tak selamanya instan adalah jalan terbaik. Hasil yang diperoleh dari sebuah proses panjang memiliki nikmat yang tiada duanya.”
“Awalnya aku sulit memahami apa yang kau maksudkan dalam lukisan ini. Kau tau? Lukisan ini benar-benar asli karyamu!” Ujarnya sembari setengah berteriak.
“Elva, bukannya sudah aku katakan, jadilah kreator bukan plagiator! Bukannya lebih nikmat jika hasil jerih payah kita sendiri?”
“Ah, aku hanya menyarankan kau untuk mengikuti trend kalangan remaja saat ini yang lebih suka menjadi plagiator. Siapa tahu kau tertarik.” Ujar Elva dengan maksud bercanda.
“Aku sama sekali tidak tertarik. Bagaimana Indonesia maju kalau generasi mudanya terlalu memanjakan otaknya? Bukannya tajam karena kreativitasnya malah tumpul akibat plagiat.”
“Ah, dasar kau memang pelukis muda yang terlalu tajam. Haha” Jawab Elva sembari tertawa.
Shalom sendiri kini telah kembali dengan senyum manisnya. Cukup puas dengan hasil proses panjangnya. Kini, “La Lunar” benar-benar hidup dan memiliki pesan tersendiri dalam kehidupan Shalomya Ayudha Purni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar