La
Lunar
Karya : Zhee
“Seseorang yang terbiasa instan, akan sulit memahami sebuah
proses”
***
Shalomya Ayudha Purni. Berbakat
dengan polesan kanvasnya dan sekarang belum sampai 17 tahun usianya. Berbeda
dengan remaja-remaja zaman sekarang, di telinga Shalom hanya terngiang kata
“proses”. Ketika remaja seusianya mulai menumpulkan dan memanjakan otaknya, ia
justru memacu lebih keras seluruh tenaga dan fikirannya hanya untuk menjadikan
kata “La Lunar” sesuai dengan tujuannya. Tak seperti remaja pada umumnya, di
waktu senggang ia gunakan untuk menjelajahi khayal imajinasi “La Lunar” yang
selama 6 bulan tersebut tetap dalam komposisinya. Tak bertambah, dan tak
berkurang.
“Hei Shalom! Mau sampai kapan kau
pandangi kanvas biru tua itu? Haha. Sudahlah, ada banyak benda di sekitarmu
yang bisa kau jadikan objek mengecatmu itu!” Teriak Elva, salah seorang teman
Shalom.
Teriakan Elva seketika mengagetkan
Shalom yang tengah tenggelam dalam imajinasi “La Lunar” nya. Tetapi Shalom
hanya tersenyum kecil menanggapinya dan kembali memandangi kanvas.
“Hei, Shalom. Sudah berapa kali ku
bilang, sudahlah jangan terlalu kau fikirkan lukisan mu itu. Percuma! Kau sudah
banyak membuang kanvas untuk projek mu ini. Sampai-sampai kau tak makan hanya
gara-gara lukisan yang tak akan pernah selesai ini.” Ejek Elva.
“Elva.. Elva.. Lukisan ini akan
selesai tepat pada waktunya. Tenang saja..” Sahut Shalom santai sembari
menghampiri Elva dan duduk disampingnya.
“Kapan? Waktu pergelaran lukisan itu
tinggal satu minggu lagi! Dan kau? Tetap saja dengan kanvas-kanvas biru tua kau
itu. Apa yang sebenarnya terjadi pada diri kau, Shalom?”
“Tenang Elva, tenang.. Tunggu
waktunya.”
“Tenang? Aku sebagai sahabatmu tidak
akan tenang melihat ini Shalom! Sudahlah, aku akan browsingkan untuk kau
lukisan karya Leonardo Da Vinci!” Tawar Elva yang seketika ditolak
mentah-mentah oleh Shalom, “Apa? Tidak! Tidak Elva! Aku tidak mau meniru karya
orang lain, itu terlalu instan! Lalu bagaimana grade pelukisku akan naik kalau
aku sendiri ini seorang penjiplak?”
“Hei, untuk sekali ini saja. Apa
salahnya menjiplak karya orang lain sekali-kali? Lagipula untuk apa kau
repot-repot berfikir, berkhayal dengan kanvas kau itu? Zaman sekarang sudah ada
internet, Shalom! Hanya dengan sekali tombol kau bisa dapatkan apa yang kau
mau!” Paksa Elva.
“Tidak Elva, sebuah hasil akan lebih
nikmat bila itu didapat dari sebuah proses dengan sebuah kerja keras dan doa!
Bukan dengan yang instan seperti itu, aku tidak mau!” Tolak Shalom.
“Shalom, sahabatku yang paling
manis. Aku tak tahan melihatmu sepanjang hari hanya memandangi kanvas yang
terlukis biru tua itu. Sebaiknya, cepatlah kau kerjakan walau menjiplak! Tak
akan ada yang mengerti itu hasil jiplakan atau bukan!” Ujar Elva tanpa gentar
dan dengan kukuhnya. Elva berusaha memaksa Shalom untuk menjiplak.
“Sudahlah Elva, kalau kamu kemari
hanya untuk berdebat denganku. Silahkan pergi. Jangan ganggu aku sampai waktu
pergelaran nanti.” Tolak Shalom sekali lagi dengan wajah malas ia tampakkan
pada Elva.
Ekspresi itu membuat Elva menyerah
dan dengan wajah muram, ia pergi dari hadapan Shalom. Baru beberapa langkah,
Elva berbalik lalu berkata pada Shalom, “Baiklah. Tapi ingat kau Shalom! Aku
begini karena peduli dengan kau, karena sejak kau membiarkan kanvas itu tetap
biru tua kau semakin menyedihkan.”
Shalom yang mengerti akan maksud
Elva menjawabnya dengan tenang “Terimakasih Elva atas perhatianmu. Temui aku
ketika pergelaran nanti.”
***
Hari demi hari setelah perdebatannya
dengan Elva membuat ilusi khayalnya semakin memburam. Pergelaran itu tinggal
hitungan jam kali ini. Dan di pojok kamarnya, kanvas itu masih tertata manis
dengan komposisi biru tua nya. Tak berubah atau bahkan berkurang. Shalom yang
setiap hari ia habiskan menatap kanvas biru tua itu sembari membuka cakrawala
ilusinya pun hanya berakhir dengan anggukan pasrah. Bagaimana tidak? Bumerang
pedas dari perhatian Elva tetap membayanginya, menghantam bata semangat
berprosesnya yang sedikit demi sedikit retak. Bagaimana caranya lukisan ini
selesai tanpa segores pun tinta plagiarisme yang mengelilinginya? Shalom
benar-benar kehabisan akal kali ini. Cakrawala imajinasinya seolah terhenti,
terhalang oleh dinding perhatian Elva.
Shalom pun keluar dari tempat dimana
asap imajinasinya mengepul. Hendak menenangkan diri dari sesuatu yang menimpa
nya kali ini. Dia benar-benar tak habis fikir bagaimana ia bisa tak punya
setitik ide pun untuk lukisan nya kali ini. Dengan mata berkaca-kaca ia
kemudian menyapu pemandangan di sekelilingnya. Seketika pandangan mata yang
menahan air agar tak tumpah dari kelopaknya itu pun terhenti pada pemandangan
langit.
Sambil menyeka air matanya Shalom
berkata, “Indah sekali bulan malam ini, seolah bulan tak ingin aku menumpahkan
air mata ku yang penuh kebimbangan.”
Semakin larut cahaya bulan semakin
benderang. Shalom memandangi bulan itu. Lama. Hingga secara tak sadar,
cakrawala ilusinya terbuka. Ia mendapatkan ide untuk lukisannya kali ini.
Secepatnya, ia mengambil kanvas biru tua dan peralatan lukisnya lalu mengatur
posisinya. Shalom menyelesaikan “La Lunar” nya sembari bermandikan cahaya bulan
yang benderang.
***
Gedung tempat pergelaran lukisan
telah ramai oleh banyak orang. Terlihat pula Elva, sendirian mengitari ruangan
tempat lukisan dipamerkan. Elva tidak lama berdiri dari satu lukisan ke lukisan
yang lainnya. Tetapi tidak untuk lukisan yang satu ini, Elva terpaku lama.
Sederhana menurutnya, dengan berlatarkan langit yang berwarna biru tua hanya
tergambar rembulan dan seorang gadis yang terlihat separuh wajahnya. Rembulan
itu dilukis sedemikian rupa sehingga terlihat seperti bersinar terang,
menyinari gadis yang dari gambaran raut wajahnya menyisakan kegalauan yang
menjadi. Rembulan yang terang itu seolah mencoba menghibur gadis yang bersendu
pilu itu.
Setelah Elva terpaku lama, ia
kemudian melirik bagian bawah. Tertulis Shalomya AP. Elva tak percaya dengan
apa yang ia lihat saat ini. Belum ia selesai mengendalikan rasa tidak
percayanya, pundaknya ditepuk oleh seseorang yang berada di belakangnya.
“Aku telah membuktikannya bukan,
Elva? Tak selamanya instan adalah jalan terbaik. Hasil yang diperoleh dari
sebuah proses panjang memiliki nikmat yang tiada duanya.”
“Awalnya aku sulit memahami apa yang
kau maksudkan dalam lukisan ini. Kau tau? Lukisan ini benar-benar asli
karyamu!” Ujarnya sembari setengah berteriak.
“Elva, bukannya sudah aku katakan,
jadilah kreator bukan plagiator! Bukannya lebih nikmat jika hasil jerih payah
kita sendiri?”
“Ah, aku hanya menyarankan kau untuk
mengikuti trend kalangan remaja saat ini yang lebih suka menjadi plagiator.
Siapa tahu kau tertarik.” Ujar Elva dengan maksud bercanda.
“Aku sama sekali tidak tertarik.
Bagaimana Indonesia maju kalau generasi mudanya terlalu memanjakan otaknya?
Bukannya tajam karena kreativitasnya malah tumpul akibat plagiat.”
“Ah, dasar kau memang pelukis muda
yang terlalu tajam. Haha” Jawab Elva sembari tertawa.
Shalom sendiri kini telah kembali
dengan senyum manisnya. Cukup puas dengan hasil proses panjangnya. Kini, “La
Lunar” benar-benar hidup dan memiliki pesan tersendiri dalam kehidupan Shalomya
Ayudha Purni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar