Bintang dan
Senja
karya : Zhee
Beratus kali Senja
jatuh karena Bintang, Beratus kali pula Senja bangkit untuknya.
Seakan tak pernah lelah
mengejar dan tak pernah lelah untuk bangkit dan berlari.
Namun, Bintang yang ia
kejar tetap acuh tak peduli.
Ada kalanya, Senja sudah
lelah. Ia menyerah untuk bangkit dan berlari. Di tengah rasa lelahnya itu, tiba-tiba
saja seseorang yang dikejarnya berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangan untuknya bangkit.
Senja menatap nanar
tangan yang terulur. Ia memalingkan wajahnya dan berkata, “Aku telah jatuh
bangun beratus kali mengejarmu, dan baru saat ini aku melihat kau berdiri
hendak menolongku. Kemana saja kau selama ini? Apa yang membuatmu
mengacuhkanku?” Sentaknya, masih memalingkan wajahnya “Aku menolak tangan yang
kau ulurkan, karena aku sudah tak sanggup lagi untuk jatuh dan bangkit karenamu
untuk kesekian kalinya.”
“Mengapa? Mengapa kau
menyerah bangkit untukku?”
Senja menjawab “Berapa
kali aku harus jatuh dan bangkit lagi? Berapa lama lagi, aku harus menunggu dan
mengejarmu? Tak sadarkah kamu akan semua payahku?”
“Sekali lagi, izinkan
aku melihatmu bangkit untukku, mengejarku, dan menungguku. Aku berjanji, aku akan
bersamamu. Selalu bersamamu.” Pinta Bintang.
Senja terdiam. Lama. Bagaimana aku bisa berjuang menepis semua pijakan
duri yang ia sematkan dalam sifat acuhnya?. Batinnya.
Dengan tenang, Bintang
pun berkata, “Senja, cintamu bagaikan kaki yang kupakai untuk berpijak dalam
cakrabuana[1] yang
terus berputar. Dirimu bagaikan sebuah melodi dalam partitur hidup yang kujalani,
tutur kata lembutmu membuatku kuat menghadapi kerasnya buana ini. Makramat[2]mu
membuat hatiku semakin tenang.”
Titik air secara tak
sengaja menyentuh pipi lembut Senja, tetapi kelopak matanya menahan sekuat
tenaga agar titik air selanjutnya tidak membasahi pipinya.
“Senja, aku tanpamu
bagaikan raga tanpa jiwa. Tanpa dirimu, aku tak akan pernah mengerti bagaimana
aku harus berjuang menghadapi terpaan badai kehidupan.”
Senja gemetar. Wajahnya
memerah dan tangannya mengepal. Darah dalam tubuhnya seakan mendidih. Dengan
penuh amarah, ia berkata “Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dengan begitu mudahnya
kau mengucapkan bahwa aku adalah jiwamu sementara selama ini tak sedikit pun
kau melihatku? Kau kira, hatiku terbuat dari besi? Yang tak akan tertembus oleh
peluru acuhmu?”
Bintang terkejut dengan
apa yang dikatakan Senja. Semua yang dikatakan Senja membuat Bintang semakin
merasa bersalah. Bintang tak mampu berkata sepatah pun. Ia hanya mampu
memandangi Senja yang kini berurai air mata.
Senja yang tak kuat
lagi akhirnya berlari meninggalkan Bintang. Ia berlari menuju tempat semua ini berawal dan bertekad untuk
melupakan semua hal tentang Bintang.
Senja berlari dan terus
berlari. Panasnya pasir karena sengatan matahari tak dirasakannya, kaki yang
terluka akibat gesekan antar kulit dan pasir yang panas pun tak di hiraukannya.
Hingga ia terlalu lelah dan akhirnya jatuh tersungkur. Badannya sudah terlalu
lemah untuk berlari kembali ke belakang. Jangankan untuk berlari, untuk bangun
pun sepertinya tak ada tenaga yang tersisa.
Bintang terengah-engah
mengejar Senja dalam kebisuan dan mendapati Senja jatuh tersungkur. Dengan
sigapnya ia membopong Senja dan mencarikannya tempat yang teduh untuk
beristirahat. Melihat Senja yang jatuh bak tak ada daya, membuat hatinya sakit
bagai disayat sembilu di setiap jengkalnya. Bagaimana sang raga kuat melihat
jiwanya kesakitan?
“Bintang, apa yang kau
lakukan?” ucap Senja lirih.
“Aku akan membuatmu
kuat lagi, Senja.” Jawab Bintang.
“Untuk apa? Mengejarmu
lagi?”
“Bukan, bukan untuk
mengejarku lagi. Bukannya raga tidak akan mampu hidup tanpa jiwanya?”
“Lalu?”
Bintang mengusap lembut
pipi Senja, “Kuatlah, karena kau akan berlari bersamaku. Disampingku. Kau akan
menjadi jatukrama[3]ku.”
Senyum pun akhirnya
tersungging di wajah Senja. Amarahnya kini raib entah kemana.
Melihat Senja
tersenyum, Bintang pun menautkan jemarinya ke jemari Senja. Mereka saling
menguatkan. Dan akhirnya, keduanya berjalan bersama menuju Suraloka[4].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar